Sabtu, 30 November 2013

Hidayah di PP. Nurul Jadid

Pesantren, pondok pesantren, atau sering disingkat pondok atau ponpes, adalah sebuah asrama pendidikan tradisional, di mana para siswanya semua tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai dan mempunyai asrama untuk tempat menginap santri. Santri tersebut berada dalam kompleks yang juga menyediakan masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar, dan kegiatan keagamaan lainnya. Kompleks ini biasanya dikelilingi oleh tembok untuk dapat mengawasi keluar asuknya para santri sesuai dengan peraturan yang berlaku (Dofier, 1938).

Pondok Pesantren merupakan dua istilah yang menunjukkan satu pengertian. Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri, sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana terbuat dari bambu. Di samping itu, kata pondok mungkin berasal dari Bahasa Arab Funduq yang berarti asrama atau hotel. Di Jawa termasuk Sunda dan Madura umumnya digunakan istilah pondok dan pesantren, sedang di Aceh dikenal dengan Istilah dayah atau rangkang atau menuasa, sedangkan di Minangkabau disebut surau (Majied, 1997).

Jawa Timur semenjak jaman pra-kemerdekaan telah terkenal sebagai kota santri dengan dipopulerkannya sebuah organisasi NU oleh kiai Hasyim Asy'ari tahun 1928, sehingga pendidikan masyarakat Jawa dan Madura mulai terbangun seiring  perkembangan jaman. Dengan terbentuknya pola fikir pendidikan dan pentingnya sebuah keimuan maenjadikan jalan dan cara berfikir yang mulai terlihat ada pencerahan bagi masyarakat pedesaan sampai kota.

Masyrakat desa khususnya pasca kmerdekaan mayoritas mengaut Islam abangan (Clifford, 1979), di mana Islam dengan kolaborasi Hindhu-Bhudha namun sebagai wujud budaya, sebutan untuk golongan penduduk Jawa Muslim yang mempraktikkan islam dalam versi yang lebih sinkretis  bila dibandingkan dengan golongan santri yang lebih ortodoks. Dengan pemikiran yang bisa dianggap tradisional menjadikan perkembangan pendidikan dimasyarakt pedesaan kurang berkembang dengan cepat.

Dengan, dengan demikian jalan pendidikan satu-satunya bagi masyrakat desa hnyalah Pesantren. yang bisa mengantarkan para penerus bangsa dalam menempuh pendidikan. namun tidak semua pesantren dapat memfasilitasi program-program dan legalitas pendidikan yang sesui dengan tuntutan jaman layaknya sekolah umum negeri yang legal secara pemerintahan. Sehingga kiprah kiprah santri dalam politik utanya menjadi halangan besar dalam karir, karena Ijazah yang tidak legal kendatipun pengetahuan kaum santri melebihi siswa di sekolah umum baik secara kognitif maupun pengalaman.

Terdapat lima pondok pesantren besar di Jawa Timur yakni dua diantaranya pondok pesantren shalaf: Sidogiri dan Lirboyo, dan tiga pondok Pesantren yang terbilang Modern: Tebu Ireng, Genggong, dan pondok pesantren Tanjung Paiton Probolinggo. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara pondok pesantren Shalaf dan Modern, pondod pesantren shalaf lebih menekankan pada kajian yang mendalam akan Islam secara utuh dan core-nya menjadi masyarakat yang siap menjalani hidup dengan bekal pemahana yang tinggi dan moral yang luarbiasa. Sedangkan pondok modern lebih pada kebutuhan pada era dimana pendidikan selalu berkembang seiring berjalannya waktu.

Berawal dari pendidikan pesantren Inilah seorang Bambang Subahri memberanikan diri melangkahkan kaki menatap masa depan, kendatipun bewala dari sebuah desa kecil dimana masyarakat tidak mengenal arti dari pentingnya pendidikan. Pada awal Pendidikan yang rumit, sekolah SD yang tak pernah sekalipun juara, pendidikan madrasah ibtidaiyah pun tak pernah juara, hingga pendidikan menengah pertama (SMP), tidak memiliki arti karena hakekat pentingnya pendidikan belum di ketahuinya.

 Photo: Awal tahun 90-an Bersama kakak kandung M. Marzuki


Photo: SD (SDN Ranubedali 02)

Tahun 2006 baru ditemukanlah arti sebuah hakekat Ilmu dan pentingnya sebuah pendidikan. "Atmosfer yang berbeda, pendidikan seseorang menentukan pola fikir dan kepribadian dalam setiap berperilaku, teman-teman sebaya, dapat berbicara di depan publik namun saya tidak berani, saya takut, saya gentar, padahal difikiran saya bnyak yang mau diutarakan" suara hati Bambang Subahri pada awal perjalanan pendidikan di PP. Nurul Jadid Paiton Probolinggo yang terkenal dengan sebutan "Pondok Tanjung"

Pondok Pesantren Nurul Jadid didirikan oleh almarhum KH. Zaini Mun’im pada tahun 1950. Berlokasi di desa Karanganyar Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo Jawa Timur. Seorang Bambang Subahri yang berasal dari keluarga yang tidak mengenal Islam secara mendalam, namun tekat dan niat serta ketulusan orang tua dalam mendukung pendidikan di PP. Nurul Jadid yang tinggi menjadi landasan dan pondasi untuk tetap bertahan di PP. Nurul Jadid samapi memperoleh tujuan dan niat awal.

Kedekatan dengan "bapak" menjadi motivasi karena menjadi pendukung dan sosok paling berpengaruh dalam proses perjalanan pendidikan Bambang Subahri, Namun hal ini juga menjadi beban berat (psyche) dalam artian menjadi alasan untuk tidak kerasan di pesantren karena pola hidup Bambang Subahri setiap harinya membatu sang "bapak" bekerja (ngarit, ngurusi ternak, dan ngunduh kelapa)menjadi beban yang dirasa tidak dapat ditinggalkan. Namun hal ini dirubahlah menjadi hal yang sifatnya positif, dengan demikian semangat untuk terus belajar semakin tinggi kendatipun ber modal IQ yang terbilang pas-pasan.

Setiap alumni (SMP & MTs berasal dari PP.Nurul Jadid), sangat aktif di kelas, potensi linguistik yang tinggi membuat hati Bambang Subahri tergugah, "suatu saat saya akan seperti itu, dan suatu saat saya akan berda di atas mereka". Cita-cita mulai tumbuh, nilat belajar seorang pembolos masa SPM, mulai tertanam. Pendidikan Foemal di PP. Nurul Jadid, SMA NJ menjadi pilihan, dan pendidikan non-formal Dinyiyah menjadi pilihan dengan alasan Diniyah dapat memberikan pemahaman yang mendalam akan agama dan SMA akan mengantarkan pemahan pada keilmuan umum.

Namun, pendidikan di Diniyah sebagai lembaga non-formal di PP. Nurul Jadid berakhir di awal kelas dua SMA, karena merasa kurang dan harus pindah pada lembaga pengembangan bahasa asing Bambang Subahri pindah di LPBA tepatnya LBA menjadi Pilihan. Pola pemikiran kritis di mulai, sikap dan tata cara di mulai (belajar ngomong) dan belajar gramatika bahasa arab yang tujuan awalnya hanya sebatas bekal ketika pulang kemasyarakat setelah menempuh pendidikan di SMA PP. Nurul Jadid.

 Photo: SMA PP. Nurul Jadid

Photo: Kelas IPA 2

Cita-cita awal hanya sebatas bekal untuk pulang kemasyrakat, namun dengan jalan yang tulus, dukungan keluarga yang luar biasa, terhadap pendidikan Bambang Subahri, tahun 2009 Bambang Subahri dinyatakan LULUS dari SMA PP. Nurul Jadid. Namun hingga saat itu, sifat kritis dalam tatanan bahasa tidak terlihat,cita-cita ingin menjadi sosok yang dapat bicara di depan publik tidak terealisasai hingga tamat dari SMA PP. Nurul Jadid. 

H-3 sebelum boyong dari PP. Nurul Jadid Bambang Subahri menebus segala pelanggaran pesantren berupa tiga kali kabur (pulang tanpa izin) di pihak keamanan PP. Nurul Jadid. sehingga menjalani sanksi berdiri selama 5 jam di depan Gang-D, dengan niatan LIL-ILMI dan keberkahan ilmu agar tidak ada konsekuensi pasca nyantri di masyarakat (sebuah dogma santri). 

Tanpa niatan dari awal awal untuk melanjutkan ke perguruan tinggi "bapak" menelphon Bambang Subahri untu mendaftarkan diri di STIKEN BJ (sekolah tinggi ilmu kesehatan) di bawah naungan PP. Nurul Jadid. Maka mendaftarlah Bambang Subahri di STIKES nj. Namun setelah mendaftar (pulang pasca LULU/Libur). Di telphonlah Bambang Subahri oleh salah seorang temanya Basick & Iwan yang akan melanjutkan di UIN Malng. "pucuk dicinta ulampun tiba" ibu Bambang Subahri "emak" sangat ingin untuk seorang Bambang Subahri melanjutkan di Kampus negeri dan "bapak" pun mendukung.

Dimulailah perjalan panjang Kisah Bambang Subahri dalam Ta'lim Fiddin, waddunya, wal Akhira... Simak Selanjut dalam Perjalannan UIN1:... 


Daftar Pustaka:

Dhofier, Zamakhsyari. 1983. Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3S.

Madjid, Nurcholis. 1997. Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina.

Geertz, Clifford, The Religion of Java, University Of Chicago Press 1976


Tidak ada komentar:

Posting Komentar